Kamis, 26 Mei 2011

Ketika Demokrat Tidak Belajar dari PKS

Islamedia - Sebuah status menarik saya baca di FB milik Mas Hendrajit. Kata dia dalam akun FB-nya itu:

Mengaku salah melihat gambar, kader PKS udah minta maaf. Namun, kader Partai Demokrat (bendahara PD) nggak pernah minta maaf tuh, meski dituding terlibat 3 kasus yang berkali lipat lebih gawat: 1) Suap/korupsi pembangunan gedung olahraga SEA Games; 2) pemerkosaan seorang gadis SPG di Bandung; 3) penganiayaan terhadap sopirnya sendiri.

Kalimat ini jelas membandingkan antara mantan anggota DPR dari PKS, Arifinto dan mantan Bendahara Umum PD, M. Nazaruddin. Arifinto --yang diduga melihat content pornografi di sidang paripurna DPR—hanya dalam hitungan hari segera memutuskan mundur dan meminta maaf. Sedangkan M. Nazaruddin, hingga kini tak juga meminta maaf dan mundur dari DPR meski kasusnya telah ramai dibincangkan dalam dua pekan terakhir. Dan PD pun, melalui Dewan Kehormatannya, hanya “berani” memecat Nazaruddin sebagai bendahara umum; bukan sebagai anggota DPR.

Mengapa dua partai ini memiliki respon berbeda? Itulah yang menjadi pertanyaan Mas Hendrajit dalam akun FB-nya dan bisa jadi juga menjadi pertanyaan jutaan orang lainnya.

Di negeri ini, pejabat mundur karena berbuat salah bak mencari jarum di tumpukan jerami. Bahkan, ada yang berpendapat, mundur masih belum menjadi budaya di Indonesia. Budaya mundur dianggap bukan representasi budaya bangsa Indonesia. Anehnya lagi, ada yang membenturkan budaya mundur dengan falsafah Jawa: tinggal glanggang colong playu (lari dari tanggung jawab).

Beragam alasan biasanya dikemukakan mereka yang terlibat kasus-kasus tak sedap.

“Itu kan baru dugaan, belum ada bukti hukum, jadi tak perlu mundur.”
“Status saya masih tersangka, buat apa mundur.”
“Saya baru akan mundur jika ada keputusan pengadilan yang tetap.”
“Saya kan cuma pembantu presiden. Mundur tidaknya saya tergantung presiden.”
“Mundur sebagai anggota dewan itu ada aturannya, tak bisa tergesa-gesa. Masih banyak yang harus saya kerjakan sebagai wakil rakyat.”

Saat ini, selain Nazaruddin, masih banyak anggota DPR yang sudah ditetapkan sebagai tersangka, bahkan terdakwa, tapi keukeuh tak mau mundur. Setiap pekan kerjanya bolak-balik pengadilan, bertemu kuasa hukum, dan menyiapkan pembelaan. Tapi tetap saja mereka tanpa malu masih berkantor di DPR sebagai wakil rakyat.

Jepang kerap menjadi contoh terbaik yang disodorkan kepada kita terkait budaya mundur. Menteri Luar Negeri (Menlu) Jepang, Seiji Maehara, mengundurkan diri dari jabatannya karena dituduh menerima uang dari orang asing, walau nilainya hanya 50.000 yen, atau sekitar Rp5,3 juta.

"Saya minta maaf kepada rakyat Jepang atas keresahan politik ini," kata Maehara dalam jumpa pers di Tokyo, Minggu 6 Maret 2011.

April 2010, PM Jepang Yukio Hatoyama yang baru menjabat Perdana Menteri Jepang selama delapan bulan, mengundurkan diri setelah gagal memenuhi janji kampanyenya untuk memindahkan pangkalan militer Amerika Serikat, Futenma, dari Pulau Okinawa. Sebelum Hatoyama, ada Taro Aso, Yasuo Fukuda dan Shinzo Abe yang meletakkan jabatan PM karena merasa gagal menjalankan amanah rakyat.

Mengapa para pejabat kita tak mau mundur? Pertama, karena hilangnya budaya malu. Kita sering melihat para tersangka koruptor masih bisa tersenyum manis di depan kamera. Menyedihkan, bukan?

Kedua, cara pandang terhadap kekuasaan. Bagi mereka yang tak mau mundur, kekuasaan adalah peluang untuk mendapatkan beragam kenikmatan dunia: harta, tahta, wanita, dsb. Dengan berkuasa, semua urusan menjadi mudah; semua lawan bisa dilibas; semua kemewahan bisa didapatkan; semua wanita dapat ditaklukkan. Karena itu, kekuasaan tak boleh dilepaskan meski beragam kesalahan telah dilakukan. Dan mundur tentu saja tak ada dalam kamus mereka.

Berbeda dengan orang yang memandang kekuasaan hanya sebagai alat atau sarana untuk berbuat kemaslahatan bagi masyarakat. Bagi kelompok ini, kekuasaan bukan diletakkan di dalam jiwa, melainkan hanya ada di telapak tangan. Karenanya, jika sudah merasa tak membawa kemaslahatan, mereka akan mundur dengan sukarela.

Budaya mundur sendiri sejatinya inheren (melekat) dengan eksistensi kita sebagai seorang muslim. Islam, agama yang kita anut, dengan indahnya mengajarkan budaya mundur dalam shalat. Seorang imam harus mundur jika batal dan posisinya digantikan oleh orang yang ada di belakangnya.

Sayang memang, budaya mundur masih menjadi barang mewah di negeri yang mayoritas muslim ini. Padahal, sebuah pelajaran moral luar biasa telah ditunjukkan oleh kader PKS, Arifinto. Tapi tak ada anggota dewan dan pemimpin lainnya yang mau belajar dari PKS. Termasuk PD yang saat ini menjadi the rulling party.

Jadi teringat dengan tulisan Zaim Uchrowi: Berani Mundur di Republika, 15 April lalu. Tulis dia dalam artikelnya: Arifinto membuat langkah penting bagi bangsa ini, membiasakan budaya mundur. Hal yang tentu tak lepas dari sikap partainya, PKS. Partai yang dalam beberapa waktu terakhir banyak dihujani cobaan, termasuk pada kasus ini. Namun, lewat mundurnya Arifinto, PKS menunjukkan beda dengan partai lainnya. PKS melakukan hal yang hampir tak mungkin dilakukan partai lain. Dengan segala kekurangannya, partai ini relatif masih paling mengusung moralitas di kancah politik nasional.

Anda setuju, bukan?

Erwyn Kurniawan - Alumnus FISIP Universitas Nasional

http://www.islamedia.web.id/2011/05/ketika-demokrat-tak-belajar-dari-pks.html

Info lain, bisa anda baca dengan mengklik link dibawah ini :

Kasihan Gubernur Sumatera Barat

Islamedia -Gubernur Sumatra Barat Irwan Prayitno mengatakan, dana bantuan gempa bumi untuk pembangunan infrastruktur di Sumatra Barat sebesar Rp3 triliun dari Rp6,4 triliun menguap.

"Awalnya ada dan terdapat dalam APBN untuk dana bantuan kepada Sumbar sebanyak Rp6,4 triliun. Dari Rp6,4 triliun, sekitar Rp3,3 triliun untuk bantuan rumah masyarakat itu sudah turun dan telah disalurkan," kata Irwan usai bertemu Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman di Gedung Nusantara II DPR RI, Jakarta, Jumat.

Ketika Pemda Sumbar meminta sisanya (Rp3,4 triliun) guna membangun infrastruktur berupa pembangunan 19 gedung perkantoran Pemerintah Daerah Sumatra Barat, dana tersebut tidak ada.

Ia menceritakan, sebagai gubernur, dirinya meminta sisa dana tersebut dengan berbicara kepada Ketua Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Waktu itu, ujarnya, BNPB menyarankan untuk diminta kepada Menteri Keuangan dan dirinya meminta Menkeu (Sri Mulyani ketika itu) dan kemudian ke Dirjen Anggaran serta meminta penjelasan kepada Badan Anggaran DPR. Di Badan Anggaran DPR dikatakan bahwa dana tersebut sudah dimasukkan kembali ke Kemenkeu. Tak lama, datang surat dari Kementerian PU soal pembangunan gedung itu diserahkan pada kementerian masing-masing.

"Akhirnya kami surati Presiden SBY sebanyak dua kali dan direspon oleh Wakil Presiden yang ternyata uangnya sudah tidak ada sama sekali," kata Irwan.

Bahkan, kata politisi PKS itu, Dirjen Anggaran Kemenkeu meminta agar Pemda Sumbar membangun 19 gedung pemerintah melalui APBD.

"Dirjen Anggaran bilang pakai APBD saja, lalu saya jawab sama saja dengan mati berdiri. Mana ada dana provinsi untuk membangun itu. Sama sekali tidak ada," ungkap mantan Ketua Komisi VIII DPR itu.

Irwan terus berupaya agar pemerintah pusat mencairkan dana Rp3 triliun tersebut dengan mengajukan usulan saat Musrenbangnas dua bulan lalu melalui kementerian dan lembaga terkait.

"Tapi kawan-kawan di sana tidak menyetujui karena mereka menyarankan itu melalui BNPB. Tapi di BNPB sendiri hingga kini belum ada juga," imbuhnya.

Saat ini ada 19 lebih gedung pemerintahan yang rusak dan hancur akibat gempa bumi tahun 2009 lalu yang hingga kini belum ada dana pembangunannya.

"Untuk gedung pemerintah kecuali, Dinas Pekerjaan Umum dan Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda), masih ada sekitar 19 gedung kantor lagi yang belum dibangun," ungkap Irwan.

Penanganan korban gempa, Pemda Sumbar dalam waktu 3 bulan mampu menyelesaikannya secara tuntas dan bahkan mendapat penghargaan dari BNPB sebagai provinsi tercepat menyalurkan bantuan terhadap 154 ribu rumah dan memiliki track record terbaik dalam penanggulangan darurat.

Dalam kesempatan itu, ia meminta kepada seluruh anggota DPR RI dan DPD asal Sumatra Barat untuk bisa membantu pencairan dana yang menguap itu.

"Saya mau konkrit, mohon kiranya kalau tidak ada keberatan, kekuatan kita di parlemen ini memanggil Menteri Keuangan Agus Martowardjojo untuk mengatakan jangan kira Sumbar itu sudah selesai dari penanganan gempa bumi. Masih ada sekitar 50 ribu rumah masyarakat dan 19 gedung Pemerintah Daerah (Pemda) yang masih rata dengan tanah dan pegawai kita semuanya berserakan," kata Irwan Prayitno. (antara)


http://www.islamedia.web.id/2011/05/irwan-prayitno-dana-bantuan-gempa.html


Info lain, bisa anda baca dengan mengklik link dibawah ini :

Selasa, 24 Mei 2011

PKS tidak akan bela Nunun

INILAH.COM, Jakarta - Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq menegaskan perkara Nunun Nurbaeti adalah perkara lama sebelum Adang Daradjatun bergabung ke PKS. Karenanya PKS tak campur tangan.

"Itu kejadian bukan di saat pak Adang bukan bersama kita. Sama seperti kasus Misbakhun, terjadi sudah lama. Struktur tidak boleh campur tangan dengan urusan pribadi, itu ranah pribadi," kata Luthfi di gedung DPR, Jakarta, Selasa (24/5/2011).

Menurut Luthi, PKS tidak akan masuk ke hal-hal yang tidak terkait dengan PKS. "Kami ikuti etika standar, masa lalu masa lalu, masa sekarang masa sekarang. Kami tidak masuk ke hal-hal sebelum pak Adang bersama kami," ujarnya.

Seperti diberitakan, Nunun Nurbaeti telah ditatapkan sebagai tersangka traveller's cheque oleh KPK. Pimpinan KPK menyampaikan penetapan tersangka pada saat rapat kerja dengan komisi III pada Senin (24/5/2011).

http://nasional.inilah.com/read/detail/1542022/pks-tak-akan-bela-istri-adang-daradjatun

Info lain, bisa anda baca dengan mengklik link dibawah ini :

Kontrak Baru Koalisi Bikin PKS Merasa Plong

INILAH.COM, Jakarta - Partai Keadilan Sejahtera (PKS) merasa nyaman dengan adanya kontrak baru koalisi pendukung SBY-Boediono.

"Kami justru lebih nyaman karena apa yang kami lakukan selama ini sekarang diatur dalam suatu koridor yang ditandatangani bersama oleh koalisi. Kalau enggak ada klausul ini, justru perjuangan dan sikap kritis PKS bisa disalahartikan seperti yang terjadi kemarin-kemarin," ujar Ketua Fraksi PKS, Mustafa Kamal di gedung DPR, Jakarta, Selasa (24/5/2011).

Menurut Mustafa, dalam kontrak koalisi baru ditetapkan koridor dan mekanisme yang jelas. PKS akan menghormati kesepakatan yang dibuat koalisi sebab ada kepastian soal reward and punishment pendukung koalisi.

"PKS justru tenang karena mekanisme dan koridornya jelas. Kita bisa membawa pesan-pesan perubahan reformasi melalui komunikasi yang terbuka di koalisi. Selama ini kan komunikasi itu yang tidak berjalan di koalisi," jelas Mustafa.

Ia juga mengatakan setiap anggota parpol koalisi memiliki posisi yang setara dan berhak menyampaikan pendapat dalam pertemuan-pertemuan. Dengan begitu, lanjut dia, ada komunikasi yang terbuka dalam koalisi, sebelum membuat kesepakatan.

Senada dengan Ketua Fraksi PKS, Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq juga menyambut baik kontrak koalisi yang baru. "Dalam kontrak diatur mekanisme komunikasi yang intensif, untuk perkecil ruang perbedaan. Bukan diketatkan, tapi mekanisme komunikasi yang lebih struktural lebih ditata. Diharapkan peluang perbedaan antarmitra koalisi tereduksi secara signifikan," ujarnya. [mah]


http://nasional.inilah.com/read/detail/1541182/kontrak-baru-koalisi-bikin-pks-merasa-plong


Info Lainnya, silahkan klik link dibawah ini :

Senin, 23 Mei 2011

Kalau bersalah, ya harus ditahan!!!

Jakarta - Nunun Nurbaeti resmi menjadi tersangka kasus dugaan suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) 2004. Walau Nunun adalah istri salah seorang politisinya, Adang Daradjatun, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tak khawatir citra mereka sebagai partai bersih akan runtuh.

"PKS adalah partai modern. Kami mendukung penegakan hukum dan azas praduga tidak bersalah," ujar Ketua Fraksi PKS Mustafa Kamal, kepada detikcom, Senin (23/5/2011).

Menurutnya, dugaan berperan dalam pembagian cek perjalanan bagi anggota Komisi IX DPR dalam proses pemilihan Miranda Goeltom sebagai DGS BI pada 2004, merupakan masalah pribadi Nunun Nurbaeti. Tidak lantas serta merta dapat dikaitkan-kaitkan begitu saja dengan PKS hanya karena suami Nunun, Adang Daradjatun, tercacat sebagai salah seorang politisi PKS.

"Bisa dibedakan antara masalah pribadi dan partai," sambung Mustafa.

Penetapan status tersangka bagi Nunun Nurbaeti diumumkan Ketua KPK Busyro Muqoddas dalam rapat kerja KPK dengan Komisi III DPR. Adang Daradjatun yang merupakan salah satu anggota Komisi III DPR 'secara kebetulan' tidak hadir dalam rapat kerja yang digelar hari ini.

Ihwal tidak hadirnya Adang dalam rapat mengenai status Nunun Nurbaeti juga ditanyakan kepada Mustafa. Tetapi Ketua Fraksi PKS itu mengaku tidak tahu menahu keberadaan mantan kandidat Gubernur DKI Jakarta tersebut.

"Saat rapat fraksi Jumat lalu, Pak Adang ada. Mungkin sedang ada kegaiatn lain hari ini. Kan tidak selalu izin ke fraksi kecuali hal-hal yang mengenai lintas komisi," jawab Mustafa. (lh/nwk)

sumber : http://www.detiknews.com/read/2011/05/23/161845/1645095/10/nunun-jadi-tersangka-pks-tak-khawatir-citranya-rusak

Info lainnya, silahkan klik link dibawah ini :

Demokrat Harus Belajar dari PKS

INILAH.COM, Jakarta - Partai Demokrat bisa belajar dari PKS dalam menuntaskan kasus dugaan korupsi yang kini menjerat kadernya. Berbeda dengan PKS yang bertindak rapi, cepat dan sigap, justru Partai Demokrat babak belur karena tidak cepat bertindak dan mencoreng citranya.

Publik belum lupa bahwa Arifinto, anggota Fraksi PKS yang tertangkap kamera wartawan Media Indonesia, Mohamad Irfan, ketika sedang menonton video mesum dalam sidang paripurna DPR, akhirnya didesak mundur DPP PKS dalam waktu yang cepat.

"Arifinto sudah selesai, sudah mundur," kata Ketua Fraksi PKS Mustafa Kamal di gedung DPR, Jakarta, Senin 9 Mei 2011, sebagai langkah cepat mengatasi kasusnya. Arifinto telah mengajukan surat pengunduran diri dan Fraksi PKS sudah menindaklanjuti pengunduran diri itu.

Dewan Pimpinan Pusat PKS sudah melakukan proses Pergantian Antar-Waktu (PAW). PKS tak mau kehilangan muka, dan cepat tanggap memberhentikan kadernya di DPR yang berbuat tidak senonoh dan mencoreng partai Islam itu. Isu pun berlalu.

Tapi, bagaimana dengan partai Demokrat yang dililit kasus Mohamad Nazaruddin dalam dugaan korupsi pembangunan wisma atlet SEA Games di Palembang? Kasus Arifinto sejatinya tidak lebih berat dari Nazaruddin, yang mengidap masalah berlapis-lapis.

Dibandingkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang relatif cepat dan responsif dalam menyelesaikan kasus Arifinto dan laporan Yusuf Supendi mengenai adanya korupsi di kalangan elite partainya, nampaknya Demokrat kedodoran dalam menangani kasus suap Sesmenpora yang diduga melibatkan Nazaruddin.

Pimpinan PKS nampak lebih sigap dan rapi dalam menuntaskan kasus internal yang bisa mencoreng partai, sementara pimpinan Partai Demokrat yakni Anas Urbaningrum masih membeli waktu, menunggu sinyal dari SBY, sang ketua Dewan Pembina.

Sungguh berat, berbagai kasus disebut-sebut melibatkan M Nazaruddin, Bendahara Umum Partai Demokrat, dan hal itu menjadi beban berat Anas Urbaningrum selaku ketua umum partai tersebut. Kasus Nazaruddin mencoreng dan menyandera Anas dalam memimpin Demokrat ke depan. Sejauh ini, Anas menyatakan tidak happy, namun belum bertindak tegas mengatasinya.

Padahal sederet isu menyasar Nazaruddin mulai suap Sekretaris Kementrian Pemuda dan Olahraga (Sesmenpora), tuduhan pemberian uang ke Sekjen Mahkamah Konstitusi (MK) sebesar US$120 ribu pada 2010 hingga tudingan Nazaruddin pernah ditahan Polda Metro Jaya karena diduga terlibat dalam pemalsuan dokumen perusahaan miliknya, PT Anugerah Nusantara.

Dalam menuntaskan kasus Nazaruddin ini, sikap Anas sebagai Ketua Umum DPP Partai Demokrat terlihat tidak tegas dan malah menyerahkan persoalan itu ke atas (ke SBY) selaku Ketua Dewan Pembina DPP Partai Demokrat. Padahal untuk urusan yang berpotensi mencoreng partai biru itu, mustinya Anas yang harus memutuskan, tak perlu SBY. Akibatnya, kini Demokrat menjadi bulan-bulanan media dan publik, yang berpotensi besar merusak reputasi dan kredibilitasnya.

Anas dan koleganya harus menyadari bahwa kini publik dengan sinis melihat setiap retorika antikorupsi dan pembaruan yang digaungkan politisi Demokrat baik pejabat maupun elit politiknya. Publik menilainya dengan skeptisme dan ragu. Publik melihat, pada diri sebagian besar kaum elit politik Demokrat dan pejabatnya yang duduk diparlemen maupun pemerintahan, terkesan tidak satu antara kata dan perbuatan.

Kasus Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin juga mengingatkan kembali publik kepada mantan anggota Komisi VIII DPR Aziddin. Publik tak lupa bahwa Aziddin, anggota Fraksi Partai Demokrat periode 2004-2006 dipecat dari keanggotaan partai dan anggota DPR karena terlibat kasus calo pemondokan dan katering haji pada 2006. Deklarator Partai Demokrat itu menyalahgunakan surat rekomendasi fraksi dalam melaksanakan tugasnya sebagai anggota pemantau haji. Akankah Nazaruddin mengalami nasib seperi Aziddin?

“Belajar dari PKS, jika Demokrat konsisten dengan komitmennya membasmi KKN, maka selayaknya Nazaruddin diperlakukan sama dengan Aziddin sehingga kader Demokrat lainnya menjadi berfikir berulang-ulang jika melakukan perbuatan yang tidak sesuai etika politik dan hukum,” kata pengamat hukum Tisnaya Kartakusuma, jebolan FHUI dan Sorbonne. [mdr]

Sumber :
http://nasional.inilah.com/read/detail/1538212/demokrat-bisa-belajar-dari-pks


Info lain, silahkan klik link dibawah ini :

Pilgub Banten, PKS gandeng Mitra Koalisi

Jelang pemilihan Gubernur Banten yang akan digelar pada 22 Oktober 2011 nanti, Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Banten mengaku sudah mengantongi beberapa partai untuk berkoalisi dalam mengusung Jazuli Juwaini sebagai calon Gubernur Banten.

“Kita sudah selesai masalah koalisi karena sudah melakukan konsolidasi dengan sejumlah partai untuk melengkapi persyaratan minimum. Tapi nama partainya belum bisa kita sebutkan. Nanti pada saatnya kita akan umumkan, yang jelas sudah melampaui jumlah kursi,” kata Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq, Minggu (22/5/2011) kemarin.

Terkait pasangan bakal calon Wakil Gubernur untuk disandingkan dengan Jazuli, Luthfi juga mengatakan sudah memiliki lima nama sedang dalam proses.

“Ada lima nama yang tengah kita lakukan proses fit and proper test serta verifikasi. Ada dari kalangan partai, birokrat, dan non-partisan,” tambah Luthfi.

Luthfi menambahkan, Jazuli sosok yang cocok untuk membawa perubahan Banten kedepan. Selain itu, Luthfi juga menambahkan, Jazuli memiliki latar belakang yang pas untuk menjadi kepala daerah.

“Satu lagi, Pak Jazuli itu sebagai anggota Banggar (Badan Anggaran) di DPR. Biasanya calon kepala daerah dicari berlatar belakang Banggar karena kemajuan ekonomi tidak lepas dari kebijakan penganggaran,” tambah Luthfi.

sumber : http://www.berita8.com/

Info Lainnya, Silahkan klik link dibawah ini :



Klik Iklan

Mengenai Saya

Foto saya
Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia
Partai Keadilan Sejahtera (PKS), sebelumnya bernama Partai Keadilan (PK), adalah sebuah partai politik berbasis Islam di Indonesia. PKS didirikan di Jakarta pada 20 April 2002 (atau tanggal 9 Jumadil 'Ula 1423 H untuk tahun hijriah) dan merupakan kelanjutan dari Partai Keadilan (PK) yang didirikan di Jakarta pada 20 Juli 1998 (atau 26 Rabi'ul Awwal 1419 H).

Tinggalkan Pesan

Twitter Account

Catatan Harian Anak Jalanan

Iklan

Berita Hidayat Nur Wahid

Template by KangNoval & Abdul Munir | blog Blogger Templates